Selasa, 11 Juni 2013

DEMOKRASI


BAB I
DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI DI INDONESIA

Selayaknya kalimat pembuka pada hampir setiap buku atau artikel yang mengurai gagasan kebangsaan untuk Indonesia paska orde baru, pastinya disuguhi dengan kalimat ‘35 tahun bangsa Indonesia dibawah rezim Orde Baru yang otoriter dan sentralistik” kalimat ini memang benar adanya, kekuasaan orde baru dikenal dengan tipe palaksanaan pemerintahan yang sentralistik, pemerintahan yang hanya memusatkan aktifitas pemerintahannya di pucuk pemerintahan pusat yang disebut masyarakat di daerah dengan sebutan pemerintahan di Jakarta.

Tepatnya tahun 1998 massa aksi mahasiswa dan rakyat mengelar sejumlah aksi turun jalan dan pemboikota sejumlah titik di ibu kota Negara (Jakarta), seraya menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto  dan perubahan secara totalitas tata pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, tekanan mahasiswa Indonesia dan rakyat tidak sia-sia walaupun menumbangkan sejumlah korban jiwa. Soeharto pun mengundurkan diri dari kursi kepresidenan yang diembanginya selama 35 tahun. Hembusan telah lahirnya demokrasi di Indonesia serentak diketahui hampir pelosok nusantara bahwa semangat pemerintahan yang berdasarkan aspirasi rakyat telah berdiri kokoh, rakyat secara mutlak telah diakui kekuasaanya oleh Negara, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat tentang konsep demokrasi.
Rejim berganti, para pemikir muda mengambil peran untuk mendesain kerangka pelaksanaan pemerintahan Indonesia, Amien Rais yang ditokohkan sebagai tokoh reformasi mengambil peran sebagai pimpinan wakil rakyat saat itu, Wakil Presiden B.J Habibi secara langsung menjadi presiden mengantikan kedudukan seoharto, salah satu trobosan yang dilakukan oleh presiden B.J Habibi yang, membuat binggung, gerah, dan salut banyak orang ialah presiden B.J Habibi mampu menglahirkan 210 perundang-undangan dalam satu tahun[1].
Demikian singkat kata perjalanan perpolitikan bangsa Indonesia paskah lengsernya orde baru, namun prinsip utama dari perjuangan penglengseran rejim seoharto ialah memaksimalisasi dasar Demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan di indonesia, demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang sempurna/ideal, buah dari perjuangan tersebut salah satunya ialah penghapusan sistem pemerintahan sentralistik dan mengantikannya dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi. Desentralisasi dianggap sebagai pengijewentahan dari prinsip demokrasi terutama penguatan aspirasi rakyat ditingkat daerah di Indonesia.
Desentralisasi lewat otonomisasi daerah sebagai dasar payung hukum atas keberadaan demokrasi, sebelumnya desentralisasi sudah dilaksanakan pada masa kepamimpinan Presiden Seokarno lewat Undang-Undang  Nomor 18 Tahun 1965 dan kepemimpinan Seoharto lewat Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pengunaan prinsip demokrasi tetap didengungkan dengan ungkapan Demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Semangat demokrasi itu sendiri secara riil diterapkan paskah lengsernya kepemimpinan seoharto, konsederan Menimbang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah secara nyata mengungkapkan dasar demokrasi sebagai semangat otonomisasi daerah di Indonesia, hal ini bisa ditemukan pada uraian huruf b dan c konsederan Menimbang, sebagai berikut;
Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah;[2]
“Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;”[3]

Prof. Drs. Haw. Widjaja mengungkapkan pergerakan mahasiswa 1998 telah merubah pradigma pemerintah yang sentralistik menuju pemerintahan yang desentalisasi lewat otonomi daerah secara nyata[4], pastinya, walaupun otonomisasi daerah sudah dikenal pada masa pemerintahan Indonesia sebelumnya, otonomi daerah belum secara nyata dipraktekkan, hingga pada reformasi tahun 1998.
Mendudukan Demokrasi sebagai sebuah sistem pengelolahan kekuasaan Negara tidak terlepas dari penguraian tentang jenis dan pelaksanaan pengelolahan kekuasaan Negara atau akrab dikenal dengan teori kekuasaan, pada umumnya teori kekuasaan dibagi menjadi tujuh bagian yaitu; teori kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara, Kedaulatan Hukum, kedaulatan Plural dan dua cara pandang kedaulatan.
Dari berbagai teori kedaulatan diatas mempunyai ciri dan prinsip yang berbeda-beda, namun pada tulisan ini penulis akan lebih banyak mengurai teori kedaulatan rakyat. Ide dasar toeri kedaulatan rakyat sederhana bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Diskursus kekuasaan rakyat sangatlah mustahil, bagaiamana rakyat memerintah atas dirinya.? namun berkembangan jaman serta diskusi-diskusi teori kenegaraan serta praktek trial and eror  di Prancis dan Amerika Serikat, teori kedaulatan rakyat menemukan tempatnya ialah menghilangkan dominasi kekuasaan monarki absolut yang dikuasai oleh raja-raja, hingga pada pembentukan model Monarki Parlementer atau Republik Demokrasi, prinsipnya teori kedaulatan rakyat merupakan anti tesis dari keberadaan teori kekuasaan raja yang monopolistik serta sering melakukan penyimpangan kekuasaan, sebagaimana yang dipraktekkan oleh raja Louis XIII di Prancis lewat slogannya “Negara adalah saya” (L‘etat c’est moi).
Slogan teori kedaulatan rakyat tidak terlepas dari demokrasi itu sendiri, kedua-duanya mempunyai kesamaan yaitu “kekuasaan Negara/Pemerintah yang berdasarkan rakyat”, namun perdebatan peristilahan masih saja dikritisi, hal ini bisa dilihat dari ungkapan Moh. Hatta tentang peristilahan antara demokrasi dan kedaulatan rakyat, sehingga Moh. Hatta mempersingkat dengan mengkritisi konsep demokrasi sebagai implementasi kedaulatan rakyat, “bahwa Indonesia hendak mengarah kepada ‘demokrasi yang sebenarnya’, yaitu demokrasi yang berorientasi kepada kolektivitas dan bukan ‘demokrasi barat, yaitu demokrasi yang berorientasi kepada individualisme yang mengstrukturkan kapitalisme dan menanam kemegahan autokrasi dalam perekonomian; menurut hatta pula, demokrasi kapitalis tidak mencegah “eksploitasi manusia atas menusia lainnya”[5]
Sejarah gagasan otonomi daerah sudah dilakukan sejak massa pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1903 melalui undang-undang desentralisasi, dan diperluas dengan Besstursher Vormingswet 1922 dimana pelaksanaan pemerintahan Klonial Belanda mengunakan sistem dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantu[6]. Ketiga sistem yang diiplementasi pada massa kolonial belanda ini, sangat akrab dengan ketentuan hukum pelaksanaan otonomi darah atau pemerintahan dearah saat ini.
Dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mendefinisikan otonomi daerah adalah usaha memberikan kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi,sosial-budaya dan politik di wilayahnya. Sementara desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia. Secara fiscal tujuan dari otonomi darah ialah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan kebutuahan  di daerah, mendorong efisiensi alokatif pengunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. 
Pakar ilmu pemerintahan, Prof. Dr. Ryaas Rasyid sebagai tokoh pemarkasa otonomi daerah, beranggapan bahwa, krisis moneter yang terjadi di Indonesia 1997-1998 bukan hanya ditangapi lewat perbaikan ekonomi nasional, namun juga didorang lewat pelaksanaan politik pemerintahan yang berdarkan pada aspirasi rakyat (demokrasi) khususnya masyarakat di daerah-daerah, lewat pelaksanaan otonomi daerah yang rill, daerah diberikan kekuasaan untuk mengelolah dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dengan cara yang kreatif, hal ini juga salah satu instrument mengatasi krisis moneter waktu itu[7]. Sejak 1999 hingga 2004 tercatat 148 daerah otonom[8]. Namun praktek pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini mengalami penyimpangan disejumlah daerah otonomi, kesejahteraan dan kemandirian sebagai tujuan otonomi daerah ternyata tidak merubah prilaku pelaksana pemerintah yang menyimpang, salah satunya ialah praktek korupsi, kolusi, semakin menjadi-jadi di sejumlah daerah di tanah air. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga 2012 ada 173 kepala daerah yang tersangkut berbagai kasus korupsi. Para kepala daerah itu tersangkut dengan berbagai status yang melekat pada mereka, mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana[9]. Kondisi ini menuai tanggapan miring soal desentralisasi lewat otonomi daerah saat ini, Mahfud MD, menyatakan bahwa pelaksanaan politik Desentralisasi dibangsa  ini sama halnya dibentuknya desentralisasi prilaku korup di daerah[10].
Sejumlah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah sebagaimana berdasarkan ketentuan undang-undang sangat luas hampir setara dengan kewenangan pemerintahan pusat, namun dalam hal-hal tertentu saja yang dibatasi pada kewenangan pemerintahan daerah, diantaranya; politik luar negari, pertahanan, kemanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama. Sementara itu kewenangan yang lainnya yang setera dengan fungsi pelaksanaan pemerintahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah, kewenangan ini juga yang berpotensi timbulnya prilaku korup para pejabat daerah.
Hajatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif secara langsung sebagai jawaban atas praktek berdemokrasi di bangsa ini, bukan hanya ruang bagi masyarakat untuk menentukan sikap politik, namun dimensi lain juga memainkan peranan yang sangat penting, timbulnya prilaku politik pragmatis serta hubungan relasi bisnis yang dibangun diatas dasar nilai lebih semakin mengencangkan kelemahan berdemokrasi di bangsa ini[11].
Keberagaman multi entis, agama dan budaya yang unik dibangsa ini bukan hanya medium yang dipandang oleh bangsa asing lainnya sebagai sesuatu yang luar biasa pada bangsa Indonesia, namun keberagaman ini mendukung adanya ketidak beresan menjemput demokrasi dibawah sistem desentralisasi saat ini. Pedewasaan politik yang seharusnya dilaksanakan oleh partai politik tidak semestinya yang diamanatkan dalam Undang-Undang, namun perbedaan ini digunakan sebagai kekuatan untuk memeriahkan pesta demokrasi yang berakhir dengan konflik komunal yang akrab terjadi pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Prilaku ini mau tak mau harus dilakukan oleh partai politik untuk memperolah dukungan masyarakat mayoritas, yang pastinya keluar sebagai pemenang pada Pilkada pada suatu wilayah atau daerah tertentu. Tak hanya itu pembiayaan kampanye, hingga hal ikhwal lainnya datang dari kalagan pebisnis atas permintaan para bakal calon kepala daerah atau tawarawan dari para pebisnis, incaran kandungan sumber daya alam yang ada pada suatu daerah tertentu menjadi barang tanggungan pada momentum lempar dadu politik pemilihan kepala daerah, tak segan-segan perijinan pengelolahan sumber daya alam dimonopoli oleh corporate tertentu dan dikeluarkan secara babi buta tanpa harus mempertimbangkan aspek sosial lainnya, di kabupaten kepulauan sula propinsi maluku utara dua tahun terakhir 2009-2010 telah mengeluarkan ijin usaha pertambangan sebanyak 87 IUP yang dimiliki oleh salah satu group perusahaan ternama di Indonesia Sallim Group[12].
Fakto-faktor inilah yang mempengaruhi terdesentralisasinya prilaku korup di daerah, setelah menjabat sebagai kepala daerah, peristwa beruntun yang terjadi dari paskah pencalonan, kampanye, pemilihan hingga terpilih, membentuk kepemimpinan kepala daerah yang mengkesampingkan agenda-agenda kerakyatan yang mendesak, malahan terbentuknya kepemimpinan kepala daerah yang pragmatis, dan korup untuk mengembalikan materi yang terbuang pada saat prosesi politik yangn diikuti, tak hanya itu kenikmatan manjadi penguasa menutupi sikap kepemimpinan kepala daerah yang efaluatif dan bertangungjawab, kepemimpinan itu membentuk keserakahan menguasai sehingga pangung-pangung pemilihan kepala daerah lainnya menjadi incaran, tak lain hanya memperluas ekspansi politik dan monopoli, padalah kondisi bangsa ini semakain hari semakin melemah bukan hanya melemahnya kepemimpinan nasional namun diakibatkan oleh pelemahan pada kepemimpinan di daerah-daerah. 
Akhirnya Desentralisasi atas demokrasi di Indonesia, belum menjawab semangat berbangsa dan bernegara dibangsa ini sebagaimana yang diamanatkan pada filosofi dasar bangsa ini Indonesia, keistimewaan yang diberikan hanya memperluas keburukan yang terjadi pada pelaksanaan pemerintahan nasional dalam perjalanan bangsa ini, kejahatan yang berulang ungkapan ini setera adanya jika mengurai panjang demokrasi dan desenralisasi di bangsa ini.
RUANG DEMOKRASI DI DAERAH
Tulisan tentang Demokrasi sudah banyak diproduksi oleh kalangan penulis, demokrasi juga hingga akhir ini masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan, perdebatan ini dimulai dari ketidakberesan pelaksanaan pemerintahan, padahal demokrasi sudah menjadi dasar pijakan pelaksanaan pemerintah, tak terkecuali pemerintah daerah.
Dalam UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia, tidak secara gamlang menyebutkan bentuk dan kedaulatan bangsa Indonesia berbentuk/bersifat demokrasi, namun secara interpretatif disebutkan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar[13]” maka Negara indonesia mengakui bentuk kedaulatan rakyat yaitu demokrasi namun masih berpijak pada ketentuan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi. Pada pembahasan awal penulis menyentil terkait bentuk-bentuk kedaulatan yang dikenal secara teoritik salah satunya ialah kedaulatan rakyat, kedaulatan  rakyat inilah yang mengilhami konsep tentang demokrasi.
Sejarah demokrasi, secara praktis dikenal saat pelibatan masyarakat kota kecil dengan mengunakan sistem partisipatoris dalam pengambilan kebijakan penataan Negara saat itu di yunani kuno, sehingga demokrasi hanya dipahami sebagai model partisipasi politik secara langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam hajatan politik, prinsipnya pengelolahan tata kehidupan lewat iplementasi kekuasaan Negara yang dilahirkan secara bersama-sama (rakyat-penguasa) inilah yang dinamakan Aristoteles sebagai bentuk Negara Ideal “Politeia”[14].
Demokrasi sendiri menempati ruang perdebatan teori, berawal dari bentuk dan sifat yang diterapkan hampir Negara-negara di dunia sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kekuasaan yang diklaim otoriter jika tidak mengselaraskannya, tuntutan internasional lewat badan PBB untuk menciptakan iklim bernegara yang baik maka demokrasi menjadi panutan dasar bernegara, penglikuidasian sejumlah Negara-negara timur tengah akhir-akhir ini[15], oleh Negara-negara adikuasa berupa sekutu dan sejenisnya, tak lain hanya mengseragamkan sistem pemerintahan yang ideal yaitu demokrasi, seraya penjungjungan atas penghargaan hak Asasi manusia, kebebasan manusia untuk menentukan nasib secara sendiri-sendiri dan terlibat pada pengambilan kebijakan Negara  ialah klimaks dari berdemokrasi yang didefinsikan dunia internasional. Klaim norma-norma yang berlaku pada masyarakat tidak lagi dipandang sebagai dasar awal terbentuknya ketertiban sosial, medium ini sengaja diproteksi, padahal nilai-nilai domokrasi itu terbentuk dan sudah lebih dahulu dikenal jika kita menelaah lebih jauh. Aura demokrasi itu sendiri sudah membentuk kesadaran konteks diantaranya dukungan dan aspirasi sebagai bentuk mutlak kehendak bernegara untuk menempuh kesejahteraan sosial, padahal disisi lainnya Laski mengutarakan bahwa demokrasi itu tidak bisa secara bulat-bulat didefinisikan serta diberi batasan atau definisi kerana sejarah panjang demokrasi telah mengalami s ejumlah evolusi dan melalui praktek akan menemukan konsep demokrasi yang baik dan utuh[16].
Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, diantaranya jaminan keamanan dan kenyamanan hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai politik, beroposisi, pemilihan umum yang bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, di mana para wakil dipilih untuk waktu terbatas[17]. Sementara itu,  Juan J, Linz dan Alfred Stepan juga membuat kriteria pokok mengenai demokrasi, yang hampir sama dengan kriteria yang dilahirkan oleh Bernhard Sutor tentang kebebasan, namun lebih ditekankan pada prosesi pemilihan politik yang melibatkan masyarakat tanpa adanya penekanan, (pemilihan gumum) yang bebas dan jujur termasuk didalamnya kebebasan mendirikan partai politik. Sarana demokrasi juga dimaknai sebagai sistem tepat guna untuk menghilangkan sistem kekusaan politik masa lalu yang tiran, seperti Monarki, Aristokrasi, dan Oligarki. Woordrow Wilson mengemukakan bahwa semangat berdemokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran masa lalu, serta mengantikannya dengan lembaga-lembaga yang konkret (atas kehendak publik), serta merubah sifat represif kewenangan lembaga dengan cara menawarkan perwakilan yang demokrasi.[18]
Demam Demokrasi dibangsa Indonesia, semerbak terjadi pada pertengahan tahun 1998 setelah lengsernya presiden Soeharto yang diklaim pengagum model politik masa lalu yang tiran. Demokrasi sudah menjadi ultimatum abnormal sumber hukum yang berlaku pada pengambilan kebijakan lembaga-lembaga Negara, salah satunya ialah Pengunaan Prinsip Desentralisasi lewat otonomi daerah yang diklaim sebagai roh berdemokrasinya bangsa Indonesia disamping pelaksanaan pemilihan presiden beserta wakil, anggota legislatif serta kepala daerah beserta wakil di stiap level daerah (Propinsi, Bupati/wali kota) yang dilaksanakan secara langsung, serta pengaturan Judical Review atas keberadaan Mahkamah Konstitusi.
Iplementasi demokrasi di daerah lewat otonomi daerah secara legal formal dapat ditemui pada Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang mengatur sejumlah kebijakan-



[1] Dikiutip dari buku Mas Achmad Santosa “ good governance dan hukum Lingkungan” . Keberhasilan dalam menyelesaikan sejumlah peraturan perundang-undangan dalam waktu yang relative singkat (16 Bulan) menurut president Habibie merupakan prestasi kerana dari jumlah yang dihasilkan tersebut maka setiap bulan dapat dihasilkan sebanyak rata-rata 4,2 Undang-Undang yang menurutnya jauh melebihi angka produktivitas legislasi selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 Undang-Undang per tahun  (0,34 per bulan)
[2] Konsederan huruf b Menimbang pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daeah
[3] Konsederan huruf c Menimbang pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daeah
[4] Prof. Drs. Haw. Widjaja, Otonomi dareah dan daerah otonom, rajawali Press, Jakarta 2002, Hal 27;
[5] Hatta. Muhammad, Ke Arah Indonesia Merdeka, karangan ini dimuat dalam buku Masalah kenegaraan yang diedit oleh Miriam Budiardjo, hlm.39.
[6] Dikutip dari makalah, Dzunuwanus ghulam mana, Otonomi Daerah dalam kerangka  sumber daya manusia : diantara harapan dan kenyataan, Hal. 3.
[7] Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48
[8] Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48
[9] Hendra. A. Setyawan. Kompas. Rabu, 2 Mei 2012|09.02 Wib.
[11] Kompas. Konsolidasi demokrasi Bengkulu (2), PENDEWASAAN POLITIK YANG LAMBAN, Rabu, 11 Juli 2012; Ha 5.

[12] Jumlah Ijin yang dikeluarkan oleh Pemda kabupaten kepulauan Sula, di duga merupakan hubungan kolusi yang terjalin antara bupati sula “Ahmad Hidayat Mus” dengan perushaan  Sallim Group. Untuk pengeluaran ijin usaha pertambangan, bukan merupakan hal yang mudah kerana banyak prosedur yang harus dilalui diantaranya Kelayakan Lingkungan Hidup wilayah tempatan. Namun prosesi ini diduga tidak sama sekali dilakukan secara serius.
[13] UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2), pada pasal 1 UUD 1945 Menyebutkan bentuk dan kedaulatan republic Indonesia terdiri dari tiga bagian yaitu; Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, dan Negara idoensia adalah Negara Hukum. Pada pasal 1 ayat (2) hasil dari amandemen ketiga UUD 1945.
[14] Robert A. Dahl mengunakan istilah “Politeia” dengan sebutkan “Polyarchy” atas jawaban bentuk demokrasi yang modern dan meluas, bukan lagi demokrasi purba yang dipraktekkan pada Negara kota/ city state, dalam bukunya  Nurtjahjo Hendra , Filsalat Demokrasi. 2005: Hal 44.
[15] Intervensi tentara PBB, diantaranya Amerika Serikat dan Sekutunya, atas nama HAM, dan Demokrasi melakukan Penglikuidasian Saddam Husain di Irak, dan M. Khadafi…..
[16] Dikutip bukunya  Nurtjahjo Hendra , Filsalat Demokrasi, Hal:71, atas kutipannya dari, Ali, Perveen Shaukat,The Political Philosophy of iqbal, Publishers United, Ltd., Lahore, 1978, hlm.260-261.
[17] Bernhard Sutor, 1991 dikutip dari bukunya Nurtjahjo Hendra , Filsalat Demokrasi, Hal:72, atas kutipannya dari buku Mencari Sosok Demokarasi Karya Magnis-suseno.
[18] Op..cit.., Perveen Shaukat Ali, hlm.258-259.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar