BAB I
DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI DI INDONESIA
Selayaknya kalimat pembuka
pada hampir setiap buku atau artikel yang mengurai gagasan kebangsaan untuk
Indonesia paska orde baru, pastinya disuguhi dengan kalimat ‘35 tahun bangsa Indonesia dibawah rezim Orde
Baru yang otoriter dan sentralistik” kalimat ini memang benar adanya,
kekuasaan orde baru dikenal dengan tipe palaksanaan pemerintahan yang
sentralistik, pemerintahan yang hanya memusatkan aktifitas pemerintahannya di
pucuk pemerintahan pusat yang disebut masyarakat di daerah dengan sebutan pemerintahan
di Jakarta.
Tepatnya tahun 1998 massa
aksi mahasiswa dan rakyat mengelar sejumlah aksi turun jalan dan pemboikota
sejumlah titik di ibu kota Negara (Jakarta), seraya menuntut pengunduran diri Presiden
Soeharto dan perubahan secara totalitas
tata pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, tekanan mahasiswa Indonesia dan
rakyat tidak sia-sia walaupun menumbangkan sejumlah korban jiwa. Soeharto pun
mengundurkan diri dari kursi kepresidenan yang diembanginya selama 35 tahun. Hembusan
telah lahirnya demokrasi di Indonesia serentak diketahui hampir pelosok
nusantara bahwa semangat pemerintahan yang berdasarkan aspirasi rakyat telah
berdiri kokoh, rakyat secara mutlak telah diakui kekuasaanya oleh Negara,
sebagaimana yang dipraktekkan oleh Negara-negara maju di Eropa dan Amerika
Serikat tentang konsep demokrasi.
Rejim berganti, para pemikir
muda mengambil peran untuk mendesain kerangka pelaksanaan pemerintahan
Indonesia, Amien Rais yang ditokohkan sebagai tokoh reformasi mengambil peran
sebagai pimpinan wakil rakyat saat itu, Wakil Presiden B.J Habibi secara
langsung menjadi presiden mengantikan kedudukan seoharto, salah satu trobosan
yang dilakukan oleh presiden B.J Habibi yang, membuat binggung, gerah, dan
salut banyak orang ialah presiden B.J Habibi mampu menglahirkan 210
perundang-undangan dalam satu tahun[1].
Demikian singkat kata
perjalanan perpolitikan bangsa Indonesia paskah lengsernya orde baru, namun
prinsip utama dari perjuangan penglengseran rejim seoharto ialah
memaksimalisasi dasar Demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan di indonesia,
demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang sempurna/ideal, buah dari
perjuangan tersebut salah satunya ialah penghapusan sistem pemerintahan
sentralistik dan mengantikannya dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi.
Desentralisasi dianggap sebagai pengijewentahan dari prinsip demokrasi terutama
penguatan aspirasi rakyat ditingkat daerah di Indonesia.
Desentralisasi lewat
otonomisasi daerah sebagai dasar payung hukum atas keberadaan demokrasi,
sebelumnya desentralisasi sudah dilaksanakan pada masa kepamimpinan Presiden
Seokarno lewat Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 dan kepemimpinan Seoharto lewat Undang-undang Nomor 5 tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pengunaan prinsip demokrasi tetap
didengungkan dengan ungkapan Demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Semangat
demokrasi itu sendiri secara riil diterapkan paskah lengsernya kepemimpinan
seoharto, konsederan Menimbang pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah secara nyata
mengungkapkan dasar demokrasi sebagai semangat otonomisasi daerah di Indonesia,
hal ini bisa ditemukan pada uraian huruf b dan c konsederan Menimbang, sebagai
berikut;
“Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah;[2]
“Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik
di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang
perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang
dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;”[3]
Prof. Drs. Haw. Widjaja
mengungkapkan pergerakan mahasiswa 1998 telah merubah pradigma pemerintah yang
sentralistik menuju pemerintahan yang desentalisasi lewat otonomi daerah secara
nyata[4],
pastinya, walaupun otonomisasi daerah sudah dikenal pada masa pemerintahan Indonesia
sebelumnya, otonomi daerah belum secara nyata dipraktekkan, hingga pada reformasi
tahun 1998.
Mendudukan Demokrasi sebagai
sebuah sistem pengelolahan kekuasaan Negara tidak terlepas dari penguraian
tentang jenis dan pelaksanaan pengelolahan kekuasaan Negara atau akrab dikenal
dengan teori kekuasaan, pada umumnya teori kekuasaan dibagi menjadi tujuh bagian
yaitu; teori kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan
Negara, Kedaulatan Hukum, kedaulatan Plural dan dua cara pandang kedaulatan.
Dari berbagai teori
kedaulatan diatas mempunyai ciri dan prinsip yang berbeda-beda, namun pada
tulisan ini penulis akan lebih banyak mengurai teori kedaulatan rakyat. Ide
dasar toeri kedaulatan rakyat sederhana bahwa rakyatlah yang harus menjadi
sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Diskursus kekuasaan rakyat
sangatlah mustahil, bagaiamana rakyat memerintah atas dirinya.? namun
berkembangan jaman serta diskusi-diskusi teori kenegaraan serta praktek trial and eror di Prancis dan Amerika Serikat, teori
kedaulatan rakyat menemukan tempatnya ialah menghilangkan dominasi kekuasaan
monarki absolut yang dikuasai oleh raja-raja, hingga pada pembentukan model
Monarki Parlementer atau Republik Demokrasi, prinsipnya teori kedaulatan rakyat
merupakan anti tesis dari keberadaan teori kekuasaan raja yang monopolistik
serta sering melakukan penyimpangan kekuasaan, sebagaimana yang dipraktekkan
oleh raja Louis XIII di Prancis lewat slogannya “Negara adalah saya” (L‘etat c’est moi).
Slogan teori kedaulatan
rakyat tidak terlepas dari demokrasi itu sendiri, kedua-duanya mempunyai
kesamaan yaitu “kekuasaan Negara/Pemerintah yang berdasarkan rakyat”, namun
perdebatan peristilahan masih saja dikritisi, hal ini bisa dilihat dari
ungkapan Moh. Hatta tentang peristilahan antara demokrasi dan kedaulatan
rakyat, sehingga Moh. Hatta mempersingkat dengan mengkritisi konsep demokrasi
sebagai implementasi kedaulatan rakyat, “bahwa Indonesia hendak mengarah kepada
‘demokrasi yang sebenarnya’, yaitu demokrasi yang berorientasi kepada
kolektivitas dan bukan ‘demokrasi barat, yaitu demokrasi yang berorientasi
kepada individualisme yang mengstrukturkan kapitalisme dan menanam kemegahan
autokrasi dalam perekonomian; menurut hatta pula, demokrasi kapitalis tidak
mencegah “eksploitasi manusia atas menusia lainnya”[5]
Sejarah
gagasan otonomi daerah sudah dilakukan sejak massa pemerintahan Hindia Belanda,
tepatnya pada tahun 1903 melalui undang-undang desentralisasi, dan diperluas
dengan Besstursher Vormingswet 1922
dimana pelaksanaan pemerintahan Klonial Belanda mengunakan sistem
dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantu[6].
Ketiga sistem yang diiplementasi pada massa kolonial belanda ini, sangat akrab
dengan ketentuan hukum pelaksanaan otonomi darah atau pemerintahan dearah saat
ini.
Dalam
undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mendefinisikan otonomi daerah adalah usaha
memberikan kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi
ekonomi,sosial-budaya dan politik di wilayahnya. Sementara desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada Daerah Otonom
dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia. Secara fiscal tujuan dari
otonomi darah ialah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai
tuntutan kebutuahan di daerah, mendorong
efisiensi alokatif pengunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan
dan pemberdayaan daerah.
Pakar
ilmu pemerintahan, Prof. Dr. Ryaas Rasyid sebagai tokoh pemarkasa otonomi
daerah, beranggapan bahwa, krisis moneter yang terjadi di Indonesia 1997-1998
bukan hanya ditangapi lewat perbaikan ekonomi nasional, namun juga didorang
lewat pelaksanaan politik pemerintahan yang berdarkan pada aspirasi rakyat
(demokrasi) khususnya masyarakat di daerah-daerah, lewat pelaksanaan otonomi
daerah yang rill, daerah diberikan kekuasaan untuk mengelolah dan memanfaatkan
sumber daya yang dimiliki dengan cara yang kreatif, hal ini juga salah satu
instrument mengatasi krisis moneter waktu itu[7].
Sejak 1999 hingga 2004 tercatat 148 daerah otonom[8].
Namun praktek pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini mengalami penyimpangan
disejumlah daerah otonomi, kesejahteraan dan kemandirian sebagai tujuan otonomi
daerah ternyata tidak merubah prilaku pelaksana pemerintah yang menyimpang, salah
satunya ialah praktek korupsi, kolusi, semakin menjadi-jadi di sejumlah daerah
di tanah air. Menurut catatan
Kementerian Dalam Negeri, hingga 2012 ada 173 kepala daerah yang tersangkut
berbagai kasus korupsi. Para kepala daerah itu tersangkut dengan berbagai
status yang melekat pada mereka, mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga
terpidana[9].
Kondisi ini menuai tanggapan miring soal desentralisasi lewat otonomi daerah
saat ini, Mahfud MD, menyatakan bahwa pelaksanaan politik Desentralisasi
dibangsa ini sama halnya dibentuknya
desentralisasi prilaku korup di daerah[10].
Sejumlah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah
sebagaimana berdasarkan ketentuan undang-undang sangat luas hampir setara
dengan kewenangan pemerintahan pusat, namun dalam hal-hal tertentu saja yang
dibatasi pada kewenangan pemerintahan daerah, diantaranya; politik luar negari,
pertahanan, kemanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama.
Sementara itu kewenangan yang lainnya yang setera dengan fungsi pelaksanaan
pemerintahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah, kewenangan ini juga yang
berpotensi timbulnya prilaku korup para pejabat daerah.
Hajatan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif secara langsung
sebagai jawaban atas praktek berdemokrasi di bangsa ini, bukan hanya ruang bagi
masyarakat untuk menentukan sikap politik, namun dimensi lain juga memainkan
peranan yang sangat penting, timbulnya prilaku politik pragmatis serta hubungan
relasi bisnis yang dibangun diatas dasar nilai lebih semakin mengencangkan
kelemahan berdemokrasi di bangsa ini[11].
Keberagaman multi
entis, agama dan budaya yang unik dibangsa ini bukan hanya medium yang
dipandang oleh bangsa asing lainnya sebagai sesuatu yang luar biasa pada bangsa
Indonesia, namun keberagaman ini mendukung adanya ketidak beresan menjemput
demokrasi dibawah sistem desentralisasi saat ini. Pedewasaan politik yang
seharusnya dilaksanakan oleh partai politik tidak semestinya yang diamanatkan
dalam Undang-Undang, namun perbedaan ini digunakan sebagai kekuatan untuk
memeriahkan pesta demokrasi yang berakhir dengan konflik komunal yang akrab
terjadi pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Prilaku ini mau tak
mau harus dilakukan oleh partai politik untuk memperolah dukungan masyarakat
mayoritas, yang pastinya keluar sebagai pemenang pada Pilkada pada suatu
wilayah atau daerah tertentu. Tak hanya itu pembiayaan kampanye, hingga hal
ikhwal lainnya datang dari kalagan pebisnis atas permintaan para bakal calon
kepala daerah atau tawarawan dari para pebisnis, incaran kandungan sumber daya
alam yang ada pada suatu daerah tertentu menjadi barang tanggungan pada
momentum lempar dadu politik pemilihan kepala daerah, tak segan-segan perijinan
pengelolahan sumber daya alam dimonopoli oleh corporate tertentu dan
dikeluarkan secara babi buta tanpa harus mempertimbangkan aspek sosial lainnya,
di kabupaten kepulauan sula propinsi maluku utara dua tahun terakhir 2009-2010
telah mengeluarkan ijin usaha pertambangan sebanyak 87 IUP yang dimiliki oleh
salah satu group perusahaan ternama di Indonesia Sallim Group[12].
Fakto-faktor
inilah yang mempengaruhi terdesentralisasinya prilaku korup di daerah, setelah
menjabat sebagai kepala daerah, peristwa beruntun yang terjadi dari paskah
pencalonan, kampanye, pemilihan hingga terpilih, membentuk kepemimpinan kepala
daerah yang mengkesampingkan agenda-agenda kerakyatan yang mendesak, malahan
terbentuknya kepemimpinan kepala daerah yang pragmatis, dan korup untuk
mengembalikan materi yang terbuang pada saat prosesi politik yangn diikuti, tak
hanya itu kenikmatan manjadi penguasa menutupi sikap kepemimpinan kepala daerah
yang efaluatif dan bertangungjawab, kepemimpinan itu membentuk keserakahan
menguasai sehingga pangung-pangung pemilihan kepala daerah lainnya menjadi
incaran, tak lain hanya memperluas ekspansi politik dan monopoli, padalah
kondisi bangsa ini semakain hari semakin melemah bukan hanya melemahnya
kepemimpinan nasional namun diakibatkan oleh pelemahan pada kepemimpinan di
daerah-daerah.
Akhirnya
Desentralisasi atas demokrasi di Indonesia, belum menjawab semangat berbangsa
dan bernegara dibangsa ini sebagaimana yang diamanatkan pada filosofi dasar
bangsa ini Indonesia, keistimewaan yang diberikan hanya memperluas keburukan
yang terjadi pada pelaksanaan pemerintahan nasional dalam perjalanan bangsa
ini, kejahatan yang berulang ungkapan ini setera adanya jika mengurai panjang
demokrasi dan desenralisasi di bangsa ini.
RUANG DEMOKRASI DI DAERAH
Tulisan tentang
Demokrasi sudah banyak diproduksi oleh kalangan penulis, demokrasi juga hingga
akhir ini masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan, perdebatan ini dimulai
dari ketidakberesan pelaksanaan pemerintahan, padahal demokrasi sudah menjadi
dasar pijakan pelaksanaan pemerintah, tak terkecuali pemerintah daerah.
Dalam UUD 1945
sebagai konstitusi bangsa Indonesia, tidak secara gamlang menyebutkan bentuk
dan kedaulatan bangsa Indonesia berbentuk/bersifat demokrasi, namun secara
interpretatif disebutkan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar[13]” maka Negara indonesia
mengakui bentuk kedaulatan rakyat yaitu demokrasi namun masih berpijak pada
ketentuan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi. Pada pembahasan awal penulis
menyentil terkait bentuk-bentuk kedaulatan yang dikenal secara teoritik salah
satunya ialah kedaulatan rakyat, kedaulatan
rakyat inilah yang mengilhami konsep tentang demokrasi.
Sejarah demokrasi, secara praktis dikenal saat pelibatan
masyarakat kota kecil dengan mengunakan sistem partisipatoris dalam pengambilan
kebijakan penataan Negara saat itu di yunani kuno, sehingga demokrasi hanya
dipahami sebagai model partisipasi politik secara langsung yang melibatkan
seluruh warga yang sudah dewasa dalam hajatan politik, prinsipnya pengelolahan
tata kehidupan lewat iplementasi kekuasaan Negara yang dilahirkan secara
bersama-sama (rakyat-penguasa) inilah yang dinamakan Aristoteles sebagai bentuk
Negara Ideal “Politeia”[14].
Demokrasi sendiri
menempati ruang perdebatan teori, berawal dari bentuk dan sifat yang diterapkan
hampir Negara-negara di dunia sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi
kekuasaan yang diklaim otoriter jika tidak mengselaraskannya, tuntutan
internasional lewat badan PBB untuk menciptakan iklim bernegara yang baik maka
demokrasi menjadi panutan dasar bernegara, penglikuidasian sejumlah Negara-negara
timur tengah akhir-akhir ini[15],
oleh Negara-negara adikuasa berupa sekutu dan sejenisnya, tak lain hanya
mengseragamkan sistem pemerintahan yang ideal yaitu demokrasi, seraya
penjungjungan atas penghargaan hak Asasi manusia, kebebasan manusia untuk
menentukan nasib secara sendiri-sendiri dan terlibat pada pengambilan kebijakan
Negara ialah klimaks dari berdemokrasi
yang didefinsikan dunia internasional. Klaim norma-norma yang berlaku pada
masyarakat tidak lagi dipandang sebagai dasar awal terbentuknya ketertiban
sosial, medium ini sengaja diproteksi, padahal nilai-nilai domokrasi itu
terbentuk dan sudah lebih dahulu dikenal jika kita menelaah lebih jauh. Aura
demokrasi itu sendiri sudah membentuk kesadaran konteks diantaranya dukungan
dan aspirasi sebagai bentuk mutlak kehendak bernegara untuk menempuh
kesejahteraan sosial, padahal disisi lainnya Laski mengutarakan bahwa demokrasi
itu tidak bisa secara bulat-bulat didefinisikan serta diberi batasan atau
definisi kerana sejarah panjang demokrasi telah mengalami s ejumlah evolusi dan
melalui praktek akan menemukan konsep demokrasi yang baik dan utuh[16].
Bernhard Sutor
menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, diantaranya jaminan
keamanan dan kenyamanan hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh
informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan
berdemonstrasi, mendirikan partai politik, beroposisi, pemilihan umum yang
bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, di mana para wakil
dipilih untuk waktu terbatas[17].
Sementara itu, Juan J, Linz dan Alfred
Stepan juga membuat kriteria pokok mengenai demokrasi, yang hampir sama dengan
kriteria yang dilahirkan oleh Bernhard Sutor tentang kebebasan, namun lebih
ditekankan pada prosesi pemilihan politik yang melibatkan masyarakat tanpa
adanya penekanan, (pemilihan gumum) yang bebas dan jujur termasuk didalamnya
kebebasan mendirikan partai politik. Sarana demokrasi juga dimaknai sebagai
sistem tepat guna untuk menghilangkan sistem kekusaan politik masa lalu yang tiran,
seperti Monarki, Aristokrasi, dan Oligarki. Woordrow Wilson mengemukakan bahwa
semangat berdemokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran masa lalu, serta
mengantikannya dengan lembaga-lembaga yang konkret (atas kehendak publik),
serta merubah sifat represif kewenangan lembaga dengan cara menawarkan
perwakilan yang demokrasi.[18]
Demam Demokrasi
dibangsa Indonesia, semerbak terjadi pada pertengahan tahun 1998 setelah
lengsernya presiden Soeharto yang diklaim pengagum model politik masa lalu yang
tiran. Demokrasi sudah menjadi ultimatum abnormal sumber hukum yang berlaku
pada pengambilan kebijakan lembaga-lembaga Negara, salah satunya ialah
Pengunaan Prinsip Desentralisasi lewat otonomi daerah yang diklaim sebagai roh
berdemokrasinya bangsa Indonesia disamping pelaksanaan pemilihan presiden
beserta wakil, anggota legislatif serta kepala daerah beserta wakil di stiap
level daerah (Propinsi, Bupati/wali kota) yang dilaksanakan secara langsung,
serta pengaturan Judical Review atas keberadaan Mahkamah Konstitusi.
Iplementasi
demokrasi di daerah lewat otonomi daerah secara legal formal dapat ditemui pada
Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang mengatur sejumlah kebijakan-
[1]
Dikiutip dari buku Mas
Achmad Santosa “ good governance dan hukum Lingkungan” . Keberhasilan dalam
menyelesaikan sejumlah peraturan perundang-undangan dalam waktu yang relative
singkat (16 Bulan) menurut president Habibie merupakan prestasi kerana dari
jumlah yang dihasilkan tersebut maka setiap bulan dapat dihasilkan sebanyak
rata-rata 4,2 Undang-Undang yang menurutnya jauh melebihi angka produktivitas
legislasi selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 Undang-Undang
per tahun (0,34 per bulan)
[2]
Konsederan huruf b Menimbang pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daeah
[3]
Konsederan huruf c Menimbang pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daeah
[4]
Prof. Drs. Haw. Widjaja, Otonomi dareah dan daerah otonom, rajawali Press,
Jakarta 2002, Hal 27;
[5]
Hatta. Muhammad, Ke Arah Indonesia Merdeka, karangan ini dimuat dalam buku Masalah kenegaraan yang diedit oleh
Miriam Budiardjo, hlm.39.
[6]
Dikutip dari makalah, Dzunuwanus ghulam mana, Otonomi Daerah dalam
kerangka sumber daya manusia : diantara
harapan dan kenyataan, Hal. 3.
[7]
Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48
[8]
Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48
[10] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/06/16/m5ppoy-mahfud-md-otonomi-daerah-identik-desentralisasi-korupsi. diakses
pada hari Sabtu, 16 Juni 2012, 21:32 WIB
[11]
Kompas. Konsolidasi demokrasi Bengkulu
(2), PENDEWASAAN POLITIK YANG LAMBAN, Rabu, 11 Juli 2012; Ha 5.
[12]
Jumlah Ijin yang dikeluarkan oleh Pemda kabupaten kepulauan Sula, di duga
merupakan hubungan kolusi yang terjalin antara bupati sula “Ahmad Hidayat Mus”
dengan perushaan Sallim Group. Untuk
pengeluaran ijin usaha pertambangan, bukan merupakan hal yang mudah kerana
banyak prosedur yang harus dilalui diantaranya Kelayakan Lingkungan Hidup
wilayah tempatan. Namun prosesi ini diduga tidak sama sekali dilakukan secara
serius.
[13]
UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2), pada pasal 1 UUD 1945 Menyebutkan bentuk dan
kedaulatan republic Indonesia terdiri dari tiga bagian yaitu; Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, dan Negara idoensia adalah
Negara Hukum. Pada pasal 1 ayat (2) hasil dari amandemen ketiga UUD 1945.
[14]
Robert A. Dahl mengunakan istilah “Politeia” dengan sebutkan “Polyarchy” atas
jawaban bentuk demokrasi yang modern dan meluas, bukan lagi demokrasi purba
yang dipraktekkan pada Negara kota/ city state, dalam bukunya Nurtjahjo Hendra , Filsalat Demokrasi. 2005:
Hal 44.
[15]
Intervensi tentara PBB, diantaranya Amerika Serikat dan Sekutunya, atas nama
HAM, dan Demokrasi melakukan Penglikuidasian Saddam Husain di Irak, dan M.
Khadafi…..
[16]
Dikutip bukunya Nurtjahjo Hendra ,
Filsalat Demokrasi, Hal:71, atas kutipannya dari, Ali, Perveen Shaukat,The Political Philosophy of iqbal, Publishers
United, Ltd., Lahore, 1978, hlm.260-261.
[17]
Bernhard Sutor, 1991 dikutip dari bukunya Nurtjahjo Hendra , Filsalat
Demokrasi, Hal:72, atas kutipannya dari buku Mencari Sosok Demokarasi Karya Magnis-suseno.
[18] Op..cit.., Perveen Shaukat Ali,
hlm.258-259.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar